Apakah Penyelenggara Pemilu Tanggung Jawab atas Kenaikan Kekerasan Gender?

Apakah Penyelenggara Pemilu Tanggung Jawab atas Kenaikan Kekerasan Gender?

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) telah mengungkapkan bahwa kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu telah meningkat tajam. Menurut Direktur Eksekutif Netgrit, Hadar Nafis Gumay, terdapat peningkatan kasus tersebut dari tahun 2017 hingga 2023. Pada periode 2017-2022, terdapat 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP, kemudian pada 2022-2023, terdapat 4 kasus. Namun, pada 2023 sendiri, jumlah kasusnya melonjak drastis menjadi 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan ke DKPP.

Kasus-kasus tersebut mencakup berbagai bentuk kekerasan seperti pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual baik di ranah privat maupun publik. Bahkan, temuan dari Kalyanamitra menunjukkan adanya pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu di wilayah Sulawesi Selatan. Dengan kasus yang semakin meningkat, KMPKP menilai putusan DKPP terhadap Ketua KPU Hasyim Asy’ari sebagai langkah tegas dan sinyal kuat untuk terus menjaga perlindungan perempuan dalam pemilu.

Putusan ini diharapkan dapat menjadi preseden untuk menegakkan hukum tanpa adanya impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama dalam konteks pemilu. Paradigma ini penting agar semangat perempuan untuk berperan aktif dalam pemilu di Indonesia tetap terjaga, baik sebagai pemilih, penyelenggara, atau peserta. Studi yang dilakukan oleh Kalyanamitra menunjukkan beberapa faktor penyebab kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024, seperti ideologi patriarki, norma gender, stereotip gender, ketimpangan kekuasaan, kurangnya kesadaran dan pendidikan, kurangnya regulasi dan perlindungan, serta masalah impunitas.

Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pemilu memang rawan bagi perempuan. Sistem pemilu dengan hierarki dan posisi timpang antara penyelenggara dan pihak yang terlibat dalam pemilu dapat memunculkan relasi kuasa yang berpotensi menyebabkan kekerasan berbasis gender. Kasus-kasus ini harus dijadikan pembelajaran untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku kekerasan berbasis gender, agar hal tersebut tidak terulang di masa mendatang.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *