Indonesia tidak hanya dikenal dengan kekayaan budayanya, tetapi juga dengan kekayaan kuliner khas dari berbagai daerahnya. Salah satu contohnya adalah soto, yang memiliki beragam varian di seluruh Indonesia. Di Pulau Jawa saja, terdapat beberapa macam soto seperti soto betawi, soto madura, soto kudus, soto matang, soto lamongan, dan masih banyak lagi. Sedangkan di Pulau Kalimantan, terdapat soto banjar yang merupakan kuliner khas suku Banjar di Kalimantan Selatan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mursalin dalam majalah Kebudayaan, soto berasal dari kata cao do, jao to, atau chau tu dalam bahasa Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa soto memiliki hubungan erat dengan budaya Tiongkok. Cao do, jao to, atau chau tu dalam dialek Hokkian memiliki arti jeroan sapi atau babi yang dimasak dengan rempah-rempah. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa soto berasal dari kata shao du atau sao tu yang berarti memasak jeroan. Pengaruh budaya Tionghoa yang menggunakan jeroan sebagai bahan utama dalam masakan sedikit banyak mempengaruhi resep soto banjar.
Jao to sendiri adalah makanan berkuah kaldu dari jeroan yang dicampur dengan berbagai rempah. Biasanya, jao to disajikan dengan sohun, mi, atau bihun, serta bawang goreng. Mirip dengan masakan Kanton yang menggunakan jahe, bawang putih, gula, kecap, daun bawang, cuka, serta jeroan babi atau sapi. Hal ini kemungkinan besar karena adanya pedagang Tiongkok yang berdagang ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara pada abad XV-XVIII.
Akulturasi budaya antara Tionghoa dan penduduk lokal terjadi melalui pernikahan dan pembauran, yang kemudian menghasilkan kaum Tionghoa peranakan. Kaum peranakan ini mewarisi cara masak dan resep kuliner Tionghoa, termasuk resep jao to. Seiring perkembangannya, resep jao to disesuaikan dengan selera lokal dan bumbu-bumbu dari Arab dan India yang dibawa oleh pedagang.
Soto banjar diperkirakan telah ada sejak tahun 1563, ketika para pedagang Tiongkok banyak berdatangan ke Banjarmasin. Pada masa itu, Banjarmasin dikenal sebagai daerah kerajaan penghasil lada. Hal ini menunjukkan bahwa kuliner jao to telah masuk ke Banjarmasin pada masa tersebut. Namun, jao to di Banjarmasin juga mengalami penyesuaian, seperti penggunaan susu dalam kuahnya yang merupakan pengaruh Belanda.
Dengan demikian, soto banjar merupakan hasil akulturasi budaya yang kaya akan sejarah. Berbagai pengaruh dari Tiongkok, Belanda, Arab, dan India turut mempengaruhi perkembangan soto banjar menjadi kuliner khas yang lezat dan unik. Selamat menikmati soto banjar dan nikmati kekayaan kuliner Indonesia yang tiada duanya!